Islam agama
yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam
semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar
makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling
menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.
Karena
itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan
kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia,
khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang
lain.
Utang-piutang
terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena
ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman kiwari ini. Sehingga.
orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam
meminjamkan hartanya.
Realita yang
ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola
pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya kegiatan gadai ini. Ironisnya,
banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam
mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan
mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai
akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil.
Dalam rubrik
fikih kali ini kita angkat permasalahan gadai (rahn) dalam tinjauan syariat
Islam.
Definisi
ar-Rahn
Rahn, dalam
bahasa Arab, memiliki pengertian “tetap dan kontinyu”. Dalam bahasa Arab
dikatakan: المَاءُ الرَّاهِنُ apabila tidak mengalir, dan kata نِعْمَةٌ
رَاهِنَةٌ bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan, kata “rahn”
bermakna “tertahan”, dengan dasar firman Allah,
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap
diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah dikerjakannya.” (Qs. Al-Muddatstsir: 38)
Pada ayat
tersebut, kata “rahinah” bermakna “tertahan”. Pengertian kedua ini hampir sama
dengan yang pertama, karena yang tertahan itu tetap ditempatnya.
Ibnu Faris
menyatakan, “Huruf ra`, ha`, dan nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya
sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini terbentuk kata
‘ar-rahn’, yaitu sesuatu yang digadaikan.”
Adapun
definisi rahn dalam istilah syariat, dijelaskan para ulama dengan ungkapan,
“Menjadikan harta benda sebagai jaminan utang, agar utang bisa dilunasi dengan
jaminan tersebut, ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Atau harta
benda yang dijadikan jaminan utang untuk melunasi (utang tersebut) dari nilai
barang jaminan tersebut, apabila si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.”
“Memberikan
harta sebagai jaminan utang agar digunakan sebagai pelunasan utang dengan harta
atau nilai harta tersebut, bila pihak berutang tidak mampu melunasinya.”
Sedangkan
Syekh al-Basaam mendefinisikan ar-rahn sebagai jaminan utang dengan barang yang
memungkinkan pelunasan utang dengan barang tersebut atau dari nilai barang
tersebut, apabila orang yang berutang tidak mampu melunasinya.
Hukum ar-Rahn
Utang-piutang
dengan sistem gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar al-Quran,
as-Sunnah, dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil
al-Quran adalah firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ
وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Jika kamu
berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya. Dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya,
maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya. Dan Allah Mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Baqarah: 283)
Walaupun
terdapat pernyataan “dalam perjalanan” namun ayat ini tetap berlaku secara
umum, baik ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim (menetap), karena
kata “dalam perjalanan” dalam ayat ini hanya menunjukkan keadaan yang biasanya
memerlukan sistem ini (ar-rahn).
Hal ini pun
dipertegas dengan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
melakukan pegadaian, sebagaimana dikisahkan Ummul Mukminin Aisyah dalam
pernyataan beliau,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Sesungguhnya,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dari seorang yahudi
dengan cara berutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” (Hr. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim
no. 1603)
Demikian
juga, para ulama bersepakat menyatakan tentang disyariatkannya ar-rahn ini
dalam keadaan safar (melakukan perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya
dalam keadaan tidak safar. Imam al-Qurthubi menyatakan, “Tidak ada seorang pun
yang melarang ar-rahn pada keadaan tidak safar kecuali Mujahid, ad-Dhahak, dan
Daud (az-Zahiri). Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah
menyatakan, “Ar-rahn diperbolehkan dalam keadaan tidak safar (menetap)
sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
Ibnul
Mundzir menyatakan, “Kami tidak mengetahui seorang pun yang menyelisihi hal ini
kecuali Mujahid. Ia menyatakan, ‘Ar-rahn itu tidak ada, kecuali dalam keadaan
safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu
berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang).”
Akan tetapi,
yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat mayoritas ulama, dengan
adanya dalil perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas
dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا
وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي
يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Binatang
tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila
sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan
atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu
berkewajiban untuk memberikan makanan.” (Hr. Al-Bukhari no. 2512). Wallahu A’lam.
Pendapat ini
dirajihkan oleh Ibnu Qudamah, al-Hafidz Ibnu Hajar , dan Muhammad al-Amin
asy-Syinqithi.
Setelah
jelas tentang pensyariatan ar-rahn dalam keadaan safar (perjalanan), maka
bagaimanakah hokum ar-rahn pada keadaan yang berbeda? Apakah hukumnya wajib
dalam safar dan mukim, tidak wajib pada keseluruhannya, atau wajib dalam
keadaan safar saja? Dalam hal ini, para ulama berselisih dalam dua pendapat.
Pendapat
pertama, tidak wajib, baik dalam perjalanan atau keadaan mukim. Inilah pendapat
Mazhab empat imam (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah).
Ibnu Qudamah
berkata, “Penyerahan ar-rahn (barang gadai) itu tidak wajib. Kami tidak
mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas utang
sehingga tidak wajib untuk diberikan, seperti dhiman (jaminan
pertanggungjawaban).”
Dalil
pendapat ini adalah dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan ar-rahn dalam
keadaan mukim di atas yang tidak menunjukkan adanya perintah, sehingga
menunjukkan tidak wajibnya penyerahan ar-rahn (barang gadai).
Demikian
juga, karena ar-rahn adalah jaminan utang, sehingga tidak wajib untuk
diserahkan, seperti dhiman (jaminan pertanggungjawaban) dan kitabah (penulisan
perjanjian utang). Selain itu, karena rahn ada ketika penulisan perjanjian
utang sulit untuk dilakukan. Bila penulisan perjanjian utang tidak wajib untuk
dilakukan, maka demikian juga dengan penggantinya (yaitu ar-rahn).
Pendapat
kedua, wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang
menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah,
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً
فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ
“Jika kamu
berada dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedangkan kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang).”
Mereka
menyatakan bahwa kalimat “maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang))” adalah berita yang bermakna perintah.
Juga dengan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ
وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua
syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka dia batil walaupun ada
seratus syarat.” (Hr.
Al-Bukhari)
Mereka
menyatakan, “Pensyaratan ar-rahn dalam keadaan safar terdapat dalam al-Quran
dan merupakan perkara yang diperintahkan, sehingga wajib untuk mengamalkannya.
Serta tidak ada pensyaratan bahwa ar-rahn hanya dalam keadaan mukim, sehingga
dia tertolak.”
Pendapat ini
dibantah dengan argumentasi bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud sebagai
bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي
اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Akan
tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (Qs. Al-Baqarah: 283)
Demikian
juga, hukum asal dalam transaksi muamalah adalah boleh (mubah) hingga ada
larangannya, dan di dalam permasalahan ini tidak ada larangannya.”
Yang rajih
adalah pendapat pertama. Wallahu a’lam.
Hikmah
Pensyariatannya
Keadaan setiap orang berbeda, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta
sangat dicintai setiap jiwa. Lalu, terkadang di suatu waktu, seseorang sangat
membutuhkan uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak. Namun
dalam keadaan itu, dia pun tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya
atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya.
Hingga ia
mendatangi orang lain untuk membeli barang yang dibutuhkannya dengan cara berutang,
sebagaimana yang disepakati kedua belah pihak. Bisa jadi pula, dia meminjam
darinya, dengan ketentuan, dia memberikan barang gadai sebagai jaminan yang
disimpan pada pihak pemberi utang hingga ia melunasi utangnya.
Oleh karena
itu, Allah mensyariatkan ar-rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang
menggadaikan (rahin), pemberi utangan (murtahin), dan masyarakat.
Untuk rahin,
ia mendapatkan keuntungan berupa dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa
menyelamatkannya dari krisis, menghilangkan kegundahan di hatinya, serta
terkadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut, yang dengan itu menjadi
sebab ia menjadi kaya.
Adapun
murtahin (pihak pemberi utang), dia akan menjadi tenang serta merasa aman atas
haknya, dan dia pun mendapatkan keuntungan syar’i. Bila ia berniat baik, maka
dia mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun
kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat, yaitu memperluas interaksi
perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang di antara manusia,
karena ini termasuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Terdapat manfaat
yang menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan, dan melapangkan
penguasa.
Rukun ar-Rahn (Gadai)
Mayoritas
ulama memandang bahwa rukun ar-rahn (gadai) ada empat, yaitu:
- Ar-rahn atau al-marhun (barang
yang digadaikan).
- Al-marhun bih (utang).
- Shighah.
- Dua pihak yang bertransaksi,
yaitu rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (pemberi utang).
Sedangkan
Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu
shighah, karena pada hakikatnya dia adalah transaksi.
Syarat ar-Rahn
Dalam
ar-Rahn terdapat persyaratan sebagai berikut:
1. Syarat
yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi), yaitu orang yang
menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas,
yaitu baligh, berakal, dan rusyd (memiliki kemampuan mengatur)
2. Syarat
yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)
a. Barang
gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau
nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya
b. Barang
gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan
baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c. Barang
gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn
adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
3. Syarat yang berhubungan dengan al-marhun bih (utang) adalah utang yang wajib
atau yang akhirnya menjadi wajib.